Breaking News

Kamis, 25 Oktober 2012

Bagaimana Penetapan Idul Adha dari Sudut Pandang Astronomi?



Ahli astronomi RI menilai seharusnya Idul Adha di Arab Saudi dan Indonesia jatuh pada hari yang sama. Kepala Observatorium Bossca Hakim L Malasan mengatakan Idul Adha di Indonesia dengan Arab Saudi seharusnya tidak berbeda, karena kedua negara berada di garis yang sama. Namun, pemahaman yang berbeda terkait kriteria penanggalan bulan menjadi akar masalah.


“Kesulitan dari penanggalan bulan adalah ketiadaan kriteria yang sama di suatu wilayah. Jangankan Arab Saudi, di Indonesia saja tolak ukur kita berbeda antarorganisasi masyarakat,” kata Hakim.

Di Indonesia ada 2 kriteria umum yang digunakan ormas-ormas Islam dan Badan Hisab Rukyat (BHR), sebagai perangkat Kementerian Agama. Kriteria pertama berhubungan dengan wujudul hilal yang dianut Muhammadiyah. Menurut kriteria itu, awal bulan ditandai dengan posisi bulan telah berada di atas ufuk pada saat maghrib atau bulan lebih lambat terbenam daripada matahari.

Kriteria kedua imkanurrukyat yaitu kemungkinan bisa dirukyat yang dianut Persis dan NU (dalam hisabnya) serta BHR. Di Indonesia kesepakatan kriteria yang digunakan adalah tinggi bulan minimal bisa dirukyat adalah 2 derajat walau secara astronomi dianggap terlalu rendah.

“Ini bukan masalah pengukuran astronomis sebagai ilmu pasti. Di semua negara memiliki penggunaan alat yang sama dengan hasil yang sama pula. Sayangnya, batasan seperti apa dalam menentukan awal bulan. Kriteria seperti apa? Ini yang harus disamakan. Selain itu, keyakinan masyarakat terhadap suatu kelompok juga harus dipertimbangkan,” kata Hakim lagi.
Hal yang sama juga ditekankan profesor Riset Astronomi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin. Menurutnya, perbedaan penetapan penanggalan di Indonesia kini sudah semakin jelas bukan disebabkan perbedaan metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan), tetapi oleh perbedaan kriteria.
Berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI yang menjadi dasar penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, Thomas mengusulkan kriteria visibilitas hilal di Indonesia berdasarkan umur hilal yang harus lebih dari 8 jam. Sedangkan, jarak sudut bulan dan matahari harus lebih dari 5,6 derajat, ketinggian hilal lebih dari dua derajat dan lainnya.
“Penyamaan kriteria ini sangat penting. Tidak perlu berbicara internasional yang juga belum ada kesepakatannya, lingkup nasional juga kita masih terlalu banyak pendapat,” papar Thomas.
Berdasarkan kriteria penampakan bulan, untuk Zulhijah, maka garis tanggal harus melewati sebelah utara Indonesia kemudian wilayah India hingga sebelah utara Arab Saudi. Di sebelah barat dari garis tanggal tersebut, bulan sudah ada di atas ufuk pada saat terjadinya bulan baru. Sedangkan sebelah timur garis, bulan masih di ufuk.
“Kalau konsep kriteria dan garis tanggal secara nasional maupun global belum disepakati tentu besar kemungkinan perbedaan muncul di masa depan,” kata Thomas lagi.
Hakim L Malasan menyarankan pemerintah untuk mengajak berbagai organisasi masyarakat duduk bersama membuat batasan pengukuran agar nantinya tidak perlu ada pemahaman yang berbeda. “Ini bukan soal pengukuran astronom yang pasti, melainkan bagaimana kita menyamakan persepsi soal batasan penanggalan,” tegas Hakim.

Pada dasarnya, sistem penaggalan bulan berbeda dengan kalender Masehi yang dipakai di seluruh dunia pada saat ini. Garis tanggal bulan tidak selalu tetap sehinga setiap bulan memiliki acuan berganti-ganti. Posisi bulan yang berbeda membuat setiap pergantian bulan, diperlukan pengukuran yang berbeda.

sumber : www.inilah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By