Ahli astronomi RI menilai seharusnya Idul Adha di Arab Saudi dan
Indonesia jatuh pada hari yang sama. Kepala
Observatorium Bossca Hakim L Malasan mengatakan Idul Adha di Indonesia dengan
Arab Saudi seharusnya tidak berbeda, karena kedua negara berada di garis yang
sama. Namun, pemahaman yang berbeda terkait kriteria penanggalan bulan menjadi
akar masalah.
“Kesulitan dari
penanggalan bulan adalah ketiadaan kriteria yang sama di suatu wilayah. Jangankan
Arab Saudi, di Indonesia saja tolak ukur kita berbeda antarorganisasi
masyarakat,” kata Hakim.
Di Indonesia ada
2 kriteria umum yang digunakan ormas-ormas Islam dan Badan Hisab Rukyat (BHR),
sebagai perangkat Kementerian Agama. Kriteria pertama berhubungan dengan wujudul hilal yang dianut Muhammadiyah. Menurut kriteria itu, awal bulan ditandai
dengan posisi bulan telah berada di atas ufuk pada saat maghrib atau bulan
lebih lambat terbenam daripada matahari.
Kriteria kedua imkanurrukyat yaitu kemungkinan bisa dirukyat yang dianut Persis dan NU (dalam
hisabnya) serta BHR. Di Indonesia kesepakatan kriteria yang digunakan adalah
tinggi bulan minimal bisa dirukyat adalah 2 derajat walau secara astronomi dianggap
terlalu rendah.
“Ini bukan masalah pengukuran astronomis sebagai ilmu pasti. Di semua
negara memiliki penggunaan alat yang sama dengan hasil yang sama pula.
Sayangnya, batasan seperti apa dalam menentukan awal bulan. Kriteria seperti
apa? Ini yang harus disamakan. Selain itu, keyakinan masyarakat terhadap suatu
kelompok juga harus dipertimbangkan,” kata Hakim lagi.
Hal yang sama juga ditekankan profesor Riset Astronomi Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin. Menurutnya, perbedaan
penetapan penanggalan di Indonesia kini sudah semakin jelas bukan disebabkan
perbedaan metode hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan), tetapi
oleh perbedaan kriteria.
Berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama RI yang menjadi dasar penetapan
awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, Thomas mengusulkan kriteria visibilitas
hilal di Indonesia berdasarkan umur hilal yang harus lebih dari 8 jam.
Sedangkan, jarak sudut bulan dan matahari harus lebih dari 5,6 derajat,
ketinggian hilal lebih dari dua derajat dan lainnya.
“Penyamaan kriteria ini sangat penting. Tidak perlu berbicara
internasional yang juga belum ada kesepakatannya, lingkup nasional juga kita
masih terlalu banyak pendapat,” papar Thomas.
Berdasarkan kriteria penampakan bulan, untuk Zulhijah, maka garis
tanggal harus melewati sebelah utara Indonesia kemudian wilayah India hingga
sebelah utara Arab Saudi. Di sebelah barat dari garis tanggal tersebut, bulan
sudah ada di atas ufuk pada saat terjadinya bulan baru. Sedangkan sebelah timur
garis, bulan masih di ufuk.
“Kalau konsep kriteria dan garis tanggal secara nasional maupun global
belum disepakati tentu besar kemungkinan perbedaan muncul di masa depan,” kata
Thomas lagi.
Hakim L Malasan menyarankan pemerintah untuk mengajak berbagai organisasi
masyarakat duduk bersama membuat batasan pengukuran agar nantinya tidak perlu
ada pemahaman yang berbeda. “Ini bukan soal pengukuran astronom yang pasti,
melainkan bagaimana kita menyamakan persepsi soal batasan penanggalan,” tegas
Hakim.
Pada
dasarnya, sistem penaggalan bulan berbeda dengan kalender Masehi yang dipakai
di seluruh dunia pada saat ini. Garis tanggal bulan tidak selalu tetap sehinga
setiap bulan memiliki acuan berganti-ganti. Posisi bulan yang berbeda membuat
setiap pergantian bulan, diperlukan pengukuran yang berbeda.
sumber : www.inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar